REMBANG – Untuk menghindari sengketa politik, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengusulkan supaya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung ditiadakan. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Rembang, KH. Muchtar Nur Halim, dalam konsolidasi kelembagaan dan demokrasi dan advokasi hukum dalam rangka penyelesaian sengketa proses pendaftaran, verifikasi dan penetapan Partai Politik (Parpol) tahun 2024, di salah satu hotel di Rembang, baru-baru ini.
Muchtar mengatakan pemilihan kepala daerah seperti pemilihan gubernur dan pemilihan bupati / walikota supaya dipilih langsung melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), telah dibahas melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama PBNU tahun 2012.
“Pada Munas Alim Ulama di Cirebon, memutuskan agar pemilu, pemilihan gubernur, pemilihan bupati dikembalikan lagi ke lembaga legislatif. DPRD,” imbuhnya.
Pengasuh pondok pesantren di Desa Gandrirojo, Kecamatan Sedan itu menerangkan pilkada langsung tidak sesuai dengan Pancasila, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diperoleh.
Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan pilkada langsung justru menimbulkan banyak kerugian, seperti maraknya politik uang yang merusak moral, menyedot biaya besar, dan menimbulkan konflik horizontal.
Pria yang akrab disapa Abu Benba itu mengungkapkan keputusan yang telah disetujui oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono serta Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi itu yang telah hadir, pada saat penutupan kegiatan.
Hasilnya menurut Muchtar karena desakan dari akademisi dan berbagai pihak, akhirnya pemilihan pasangan kepala daerah tetap berlanjut dipilih oleh rakyat.
Hal senada juga disampaikan oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Rembang, Musoffa pihaknya juga prihatin atas respon akademisi yang menolak undang-undang tentang nomor 22 tahun 2014 sehingga mati suri.
“Keprihatinan itu muncul. Saya ingat. Mungkin kawan-kawan parpol, ingatnya undang-undang pilkada ya undang-undang 32 dan undang-undang nomor 1 tahun 2015. Tahun 2014, ada 1 undang-undang yang mati suri yaitu undang-undang nomor 22 tahun 2014 isinya bahwa pilkada dikembalikan kepada parlemen,” ujarnya.
Musoffa menuturkan untuk merespon penolakan dari akafemisi muncullah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.(Masudi/CBFM)