Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rembang, menggelar aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Rembang, Selasa (27/6). Mereka menuntut kejelasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023 yang dinilai sedang tidak baik-baik saja.
Sebelum memasuki ruang paripurna DPRD untuk audiensi, mereka membentangkan sepanduk bertuliskan “Rembang Bangkrut”. Sekaligus melakukan aksi teatrikal menggunakan topeng berwajah pimpinan daerah dengan membawa kotak sumbangan untuk penggalangan dana membantu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang.
Sekretaris PMII cabang Rembang, Riza Rino Lanuardy menyampaikan aksi yang digelar tersebut merupakan buntut dari melesetnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) 2022. Mulanya Silpa dipasang sebesar Rp. 171.995.955.782 (sekira Rp. 171 miliar lebih).
Namun, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia ternyata realisasi Silpa hanya sebesar Rp. 28,5 miliar. Silpa yang sudah dipatok itu sejatinya sudah terlanjur direncanakan salah satunya untuk menutup defisit APBD 2023.
Alhasil muncul defisit sebesar Rp. 101.995.955.782 (sekira Rp. 101 miliar). Sebab jumlah silpa sebesar Rp. 171 miliar itu sudah direncanakan digunakan untuk membayar utang pokok ke perbankan sebesar Rp. 50 miliar dan dana cadangan Pemilu sebesar Rp. 20 miliar. Dampaknya adalah, ada kekurangan anggaran hingga mencapai Rp. 143 miliar.
“Rembang sendiri ini mengalami defisit APBD sekitar Rp. 143 miliar, ini dikarenakan memang APBD tahun lalu diproyeksikan mendapat silpa sebesar Rp. 171 miliar. Akan tetapi audit dari BPK ternyata hanya Rp. 28 miliar. Dalam hal ini tim TAPD, legislatif dan eksekutif kok bisa terjadi dan menimbulkan dampak bagi masyarakat kecil,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Rembang, Puji Santoso menyampaikan silpa sifatnya sebuah asumsi, prediksi atau perkiraan. Begitu juga dengan penetapan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sehingga sangat dimungkinkan dapat meleset dari perkiraan angka yang sudah dipasang.
Ketika hal tersebut terjadi, lanjut dia, maka masih bisa ditangani melalui pembahasan anggaran perubahan.
“Karena ini sifatnya asumsi perkiraan, jadi bisa meleset. Ketika kita meleset bagaimana kita melakukan pembahasan di anggaran perubahan besok,” ujarnya.
Sementara untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak terselesaikan di 2022 kemarin merupakan masalah yang dialami organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Faktornya diantaranya pemenang tender tidak memiliki modal untuk mengerjakan proyek karena mengandalkan uang Down Payment (DP).
Padahal anggaran penggarapan proyek tersebut bersumber dari dana pinjaman Bank. Dimana tidak ada uang DP namun pihak Bank mensyaratkan penggarapan proyek harus selesai 100 persen terlebih dahulu baru anggaran bisa dicairkan.(Dari Rembang Rendy melaporkan)